KEPRI – Hanya berjarak sekitar 15 menit perjalanan dengan pompong dari dermaga Tanjungpinang, berdirilah sebuah pulau mungil yang sarat sejarah: Pulau Penyengat. Luasnya memang hanya sekitar 2 kilometer persegi, tetapi nilai historis yang tersimpan di dalamnya jauh lebih besar dari sekadar bentang wilayah.
Nama Penyengat muncul dari kisah sederhana yang melegenda. Konon, seorang pelaut disengat lebah ketika mengambil air di pulau ini. Dari situlah masyarakat menamainya Pulau Penyengat. Belanda bahkan menyebutnya sebagai Pulau Indera atau Pulau Mars, sehingga dikenal pula dengan sebutan Penyengat Inderasakti.
Pulau ini menjadi saksi bisu perjalanan kerajaan Melayu Riau-Lingga. Pada 1805, Sultan Mahmud Syah menghadiahkan Pulau Penyengat kepada istrinya, Engku Putri Raja Hamidah. Sejak saat itu, pulau kecil ini mulai berkembang menjadi pusat pemukiman sekaligus benteng pertahanan melawan kekuatan asing.
Salah satu peninggalan bersejarah yang masih bisa dijumpai hingga kini adalah Benteng Bukit Kursi. Dibangun di atas bukit, benteng berbentuk segi empat itu membentang seluas 6.903 meter persegi. Parit sedalam tiga meter mengelilinginya, sementara delapan meriam dipasang di berbagai sisi, sebagian besar mengarah ke laut Tanjungpinang. Posisi strategis ini menjadikan benteng sebagai garda terdepan pertahanan kerajaan.
Seiring waktu, peran Pulau Penyengat semakin penting. Yang Dipertuan Muda Jaafar memindahkan pusat kedudukannya dari Ulu Riau, Bintan, ke pulau ini. Hingga akhirnya, pada tahun 1900, Sultan Abdulrahman Muazamsyah menjadikan Penyengat sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Riau-Lingga.
Kini, Pulau Penyengat tak hanya menyimpan jejak kejayaan masa lalu, tetapi juga menjadi destinasi wisata budaya dan religi. Masjid Raya Sultan Riau menjadi ikon utama. Masjid bersejarah berwarna kuning terang ini dibangun dengan campuran putih telur sebagai perekat dindingnya, dan hingga kini masih berdiri kokoh serta digunakan untuk ibadah.
Di sekitar pulau, pengunjung juga dapat menjumpai kompleks makam raja-raja Melayu, termasuk makam Raja Ali Haji, pujangga besar yang menulis Gurindam Dua Belas. Ziarah ke makam ini sering dilakukan wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, yang ingin menyelami nilai-nilai budaya dan religi Melayu.
Suasana Pulau Penyengat begitu khas. Pompong-pompong kecil berjejer di dermaga menanti penumpang. Jalanan pulau yang sempit dilalui becak motor, alat transportasi sederhana yang menjadi ciri khas. Sementara itu, masyarakat setempat ramah menyapa setiap tamu yang datang, seolah menyambut mereka kembali ke rumah sejarah Melayu.
Bagi siapa pun yang menjejakkan kaki di sana, Pulau Penyengat bukan sekadar tujuan wisata. Ia adalah ruang belajar terbuka, tempat di mana sejarah, budaya, dan religi berpadu menjadi satu. Pulau mungil ini seakan berbisik tentang masa lalu yang tak lekang oleh waktu, sekaligus menawarkan pengalaman berharga bagi generasi masa kini.***
Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id, kompas.com